Judul : Javier
Penulis : Jessica
Huwae
Penyunting : Noni
Rosliyani
Perancang sampul
: @labusiam
Pemeriksa aksara
: Septi Wa
Penata aksara :
Martin Buczer
Penerbit :
Bentang Pustaka
Terbit : November
2014
Tebal : 264 hlm
Rating : 3.5/5
Tagline :
Cinta yang tak lagi sederhana
Setelah mengalami
writer’s blog hampir satu setengah
tahun, Javier dihadapkan pada posisi yang tidak menyenangkan selama karir
menulisnya. Editornya, Rosi memberikan kesempatan terakhir kepada Javier untuk
menyelesaikan tulisannya yang tidak kunjung selesai. Jika dalam waktu 30 hari
tidak ada karya satu pun yang dihasilkan oleh Javier, penerbitan akan meninjau
ulang kontrak menulisnya. Lebih buruk lagi uang muka dari hasil penjualan buku
Javier sebelumnya terpaksa harus dikembalikan.
Dalam posisi
terjepit seperti itu tak ada yang lebih ia rasakan selain rasa sesak dan gagal.
Berbeda dengan penulis-penulis muda yang bersemangat menelurkan karya perdana
mereka, Javier malah terjebak dalam kebuntuan ide. Ia tidak semudah itu
menuliskan kisah hidup yang remeh-temeh menjadi sebuah buku. Produktivitasnya
bahkan tidak bisa menyamai kecepatan
menulis sahabatnya Saosan. Menurut Javier, karya tulisan yang bagus haruslah
dihasilkan dari buah ketenangan dan inspirasi yang banyak.
Dengan tuntutan
deadline 30 hari yang dibebankan, Javier mengambil keputusan untuk menyepi di
kawasan Pucak, Bogor. Disana ia bertemu dengan orang-orang baru yang menambah
pemahamannya pada cerita yang akan ditulisnya. Salah satunya Pak Tohir si
pemilik vila tempat Javier menginap. Rumah yang dijaga oleh Pak Tohir dulunya
adalah sebuah tempat peristirahatan sebuah keluarga Jendral. Rumah itu telah
lama ditinggalkan oleh Usman Abiddin-pemilik aslinya. Rumah itu juga menjadi
saksi tentang kekuatan cinta dan menyimpan rahasia dari masa lalu Tanaya-cucu
dari Usman Abiddin.
Cerita dibuka
dengan pertemuan singkat Javier dengan Rosi. Mereka tengah membahas kelanjutan
karir kepenulisannya setelah beberapa tahun
Javier tidak menghasilkan karya satupun. Perpisahannya dengan Duma setelah lima
tahun menikah meruntuhkan semangat menulis. Ia sadar hanya Duma yang mampu
membangkitkan kembali gairahnya saat menulis. Tapi percuma saja ia menyesali diri
karna sampai kapan pun Duma tidak pernah kembali.
Sampai suatu ketika
Javier menginap di sebuah vila di kawasan Puncak. Rumah yang begitu nyaman
namun menyimpan luka. Sebuah jurnal tersimpan di salah satu rak buku yang
isinya sudah menguning. Pak Tohir tidak pernah menjelaskan secara detail
tentang koleksi buku didalamnya. Tapi Javier punya keingintahuan sendiri,
hingga akhirnya ia berhasil menemukan sebuah kisah masa lalu pemilik keluarga
itu dan menemukan titik terang arah cerita yang akan ditulisnya.
Setting berganti
mundur puluhan tahun silam dengan menjadikan sepasang muda-mudi sebagai karakter
utama. Padma, seorang gadis lulusan botani yang amat mencintai dunia
tumbuh-tumbuhan. Ia adalah anak jendral yang baru saja selesai menuntaskan
studi di Eropa. Terlahir dari sebuah keluarga militer dan dipimpin oleh kepala
keluarga yang tegas, membuat dirinya sulit untuk menentukan nasibnya terutama
tentang urusan percintaan.
Suatu ketika ia
bertemu dengan salah seorang prajurit bernama Bernadus Tirto. Pria yang pendiam
dan tidak tahu asal usul keluarganya. Tidak lama benih-benih cinta mengisi
kekosongan hati mereka. Tapi tidak ada yang tahu tentang hubungan mereka termasuk
ayah Padma. Sebuah hasrat menguasai keduanya kian tidak terbendung. Padma akhirnya
hamil dan hal ini membuat keluarganya muntab. Bernadus Tirto yang mengaku bertanggung
jawab atas bayi yang dikandung Padma justru dipindah tugaskan ke Aceh. Sementara
Padma dijodohkan dengan pebisnis kayu bernama Robi untuk menutupi aib keluarga.
Baik Bernadus
maupun Padma tidak pernah berhenti berjuang untuk kembali bertemu. Kesetiaan,
janji dan kepercayaan selalu memenuhi hati masing-masing. Akankah waktu mampu
mempertemukan mereka kembali?
Satu lagi buku
lokal hebat yang terlewat kan. Javier tidak hanya bercerita tentang kehidupan
seorang penulis, tapi juga polemik lingkaran hitam dunia kepenulisan. Menggunakan
sudut pandang orang pertama, buku ini mampu mengeksplor keseharian Javier dan
konflik batin yang mengikatnya. Mulai dari kesulitannyaa dalam mengatasi writer’s blog, cercaan media dalam menilai
buku-buku penulis dan ketakutan pada ketidakpastian nasib seorang penulis.
Perlu dicermati
ada banyak-sangat banyak malah pengguanaan sarkas yang disisipkan penulis
kelawat pemikiran tokoh-tokohnya. Buku ini seperti sebuah cubitan nyelekit yang
menyimpan jutaan kisah manis pahit dari seorang penulis. Tidak selamanya
menulis itu enak, ada tantangan dan kekonsistenan yang harus dijalankan jika
sudah menekuni dunia menulis.
Satu hal yang
membuat buku ini memaksa saya untuk memberikan ratng penuh. Padahal dilihat dari
isi kontennya matang sekali. Gaya bercerita si penulis yang sangat menonjolkan
pemikiran setiap tokohnya saya anggap sangat mengganggu jalannya cerita. Pembaca
tidak peduli dengan sindiran-sindiran yang oke punya atau kalimat-kalimat
puitis untuk mengesankan hati. Yang saya harapkan ada pada pergerakan ceritanya,
tidak perlu terlalu mendramatisir cerita hingga satu paragraf hanya untuk
mendeskripsikan apa yang dilihat dan dirasakan setiap tokoh. Hal itu malah hanya
membuang waktu.
Walau sangat
butuh kesabaran selama hampir separuh buku, kisah Javier ini sangat
kurekomendasikan untuk pembaca cerita cinta yang gelap dan tragis. Porsi
narasinya cukup banyak mampu menghanyutkan emosi pembaca. Selain itu ada banyak
sekali tokoh dibuku ini. Dan masing-masing pihak punya latar belakang yang
berbeda.
Sangat disayangkan
chemistry antar tokohnya sangat kurang terutama antara Javier dan Saosan. Kisah
persahabatan jadi cinta yang nanggung dan agak dilematis karena diam-diam
Saosan menyukai Javier. Sedangkan Javier membuat jalan cerita menjadi lambat kepribadiannya
yang tertutup, masuk kategori pria menyebalkan yang belum mampu melupakan
mantan.
Saya cukup
menyesal telah menunda membaca buku ini hampir seminggu lamanya. Ternyata letak
konflik puncak ada saat sudah mencapai ending. Buku ini memang cocok untuk para
penulis pemula yang hendak ingin berkarir didunia menulis. Ada banyak pesan
moral dan sindiran halus yang dituangkan penulis didalamnya.
Banyak selipan pengetahuan tentang dunia penulis:
- Penulis yang hanya menggantungkan hidup dari menulis memang berat. Sebelum muncul buku baru, biasanya mencoba bertahan hidup dari satu proyek ke proyek lainnya. Mulai dari menerjemahkan naskah-naskah di antara jeda panjang pada waktu menulis, sampai menjadi moderator di acara bedah buku para penulis baru.
- Profesi penulis adalah profesi yang paling rentan di dunia. Saat berhasil menyelesaikan sebuah buku, selalu ada pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran tentang apakah bisa mengeluarkan buku lagi. Kalau iya, kapan atau berapa lama? Tidak pernah ada rasa aman untuk profesi ini; kau bisa menjadi legenda atau dilupakan orang begitu saja.
- Menulis itu butuh stamina panjang. Harus melakukan rutinitas untuk memancing ide seperti cara orang menyiapkan canang saji. Harus mengatur jadwal kerja pada jam-jam produktif, mengatur lampu baca, musik yang diputar, secangkir teh jahe, lantas mematikan semua alat elektronik dan koneksi internet yang sering menjadi distraksi, lalu berharap inspirasi akan datang seperti roh yang menunjukkan penampakkannya.
- Pembaca yang menikmati buku penulis adalah bentuk kekaguman yang paling tulus. Mereka mencintai penulis apa adanya. Tidak perlu mengenal lebih dulu rupa dan bentuk penulis sekaligus drama hidupnya. Pembaca bisa menjadi sahabat dalam sekejap sekaligus kritikus yang terhebat.
- Ada banyak penulis yang patah hati karena penjualan bukunya merosot. Lantas mereka beralih profesi, membuang bakat luar biasa setelah membaca ulasan yang panjangnya tidak lebih dari satu halaman kertas koran. Pada dasarnya memilih hidup di dunia seni berarti telah sepakat untuk hidup di jalan yang sunyi, kadang mencipta dalam senyap, karena berkarya sebenarnya bukan perkara laku atau tidak, digemari pasar atau tidak, melainkan perkara mengendapkan dan menuangkan rasa.
- Penulis membutuhkan kamus saat menulis untuk mencari padanan kata, mencari tahu apakah pilihan kata yang digunakan sudah tepat, mengecek cara penulisan dan lain sebagainya. Betapa penting seorang penulis untuk bergaul karib dengan kamus. Kamus itu nyawa. Sebuah buku tidak akan kehilangan nyawanya bila penulis rajin membuka kamus dan piawai menggunakan kata-kata yang terdapat di dalamnya.
- Ada dua resep untuk menjadi penulis hebat; miliki masa kecil yang tidak bahagia atau kisah cinta yang menyedihkan.
- Banyak yang meminta penulis untuk menuangkan kata-kata motivasi yang menyemangati. Padahal, bagi sebagian mereka, menulis kadang adalah terapi. Sarana berobat jalan bagi diri sendiri.
- Kadang manusia memang tidak punya pilihan. (hlm. 5)
- Pada akhirnya, pada beberapa kasus cinta, manusia harus menyerah pada ikatan-ikatan yang membelit kaki mereka. (hlm. 28)
- Semua memang akhirnya berlalu karena waktu. (hlm. 32)
- Tulisan tangan yang ditorehkan memiliki makna dan karakter yang berbeda, serta bisa menggambarkan kondisi jiwa seseorang pada saat itu. (hlm. 40)
- Jangan memulai sesuatu bila kau tak yakin bisa menguasainya. (hlm. 46)
- Bila kita mau berusaha, hidup akan menyediakan segalanya. (hlm. 49)
- Menjalani kehidupan bukan tanpa konsekuensi. (hlm. 52)
- Waktu adalah kemewahan yang tidak bisa kau ulur ataupun putar ke belakang. (hlm. 53)
- Waktu adalah sesuatuyang misterius. Kau tidak pernah bisa menebak kapan ia akan menjadikamu tamu istimewa. (hlm. 58)
- Buku sama seperti manusia, kelak akan tua dan renta, tetapi akan semakin dihargai karena ketuaannya. (hlm. 61)
- Hidup memang begitu pintar memainkan nasib manusia. (hlm. 62)
- Kisah cinta manusia tidak bisa dihentikan oleh sengat maut sekalipun. (hlm. 64)
- Selalu ada daya yang saling tarik menarik akibat perbedaan. (hlm. 104)
- Kenangan memang bisa datang dalam bentuk apa saja. (hlm. 132)
- Ada beberapa hal dalam hidup yang membuatmu menyesal. (hlm. 133)
- Cinta memang tidak pernah menjadi hal yang sederhana. (hlm. 144)
- Jangan kebanyakan melamun. Nanti ada kekuatan lain yang mengisi ruang-ruang jiwamu. (hlm. 23)
- Nasib sungguh bisa mempermainkan hidup seseorang begitu saja. (hlm. 43)
- Sungguh celaka mengikuti keinginan mata. Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik maka teranglah tubuhmu, juga seluruh hidupmu. (hlm. 53)
- Bukankah perpisahan memang selalu lebih berat bagi yang ditinggalkan? Ada rasa sesak seperti gelembung-gelembung asam yang memenuhi ruang-ruang di dadamu. (hlm. 71)
- Kafein tidak hanya membuatmu sakit kepala, tetapi juga membuat asam lambungmu naik. (hlm. 75)
- Deadline adalah tuan dari segala sesuatu. Hal-hal lain jadi tidak terasa mendesak dan perlu saat kau terimpit tenggat waktu yang begitu ketat. (hlm. 84)
- Pada dasarnya, usia memang tidak bisa membohongi pengalaman. (hlm. 94)
- Karena hidup idealis adalah hidup yang sunyi dan sepi. (hlm. 97)
- Bagaimana caramu bertuhan kalau tidak beragama? (hlm. 98)
- Orang nggak bosan, ya, sama kisah cinta. (hlm. 100)
- Rasa kenyang memang mengubah manusia. (hlm. 101)
- Televisi itu membuat penguasaan dirimu tumpul. Membuatmu merasa buruk rupa, merasa hidupmu tidak lengkap bila tidak membeli atau menginginkan sesuatu, dan kau ingin terus dan terus lagi. (hlm. 102)
- Memangnya penulis itu harus asosial ya? (hlm. 120)
- Nggak ada salahnya baca buku chicklit tau! (hlm. 131)
- Hidup memang tidak pernah sesederhana kelihatannya. (hlm. 151)
- Perut yang lapar itu bisa bikin orang nggak idealis dalam berkarya. (hlm. 200)
Keraguan terbesar membaca novel yang mengangkat kisah soal penulis adalah apakah cukup jelas penulis menggambarkan cerita dan keseharian dari sosok tokoh penulis. Beberapa kali saya mendapati novel yang tokohnya penulis dan murni itu hanya tempelan karir si tokoh. Jarang yang mengulik proses menerbitkan novel dari 0 hingga terpajang di toko buku. Ekspektasi kadang dipatahkan mentah-mentah yang akhirnyan ketika selesai baca novelnya, kadang saya menggerutu "yakin cuma segitu aja?".
BalasHapusSaya penasaran dengan porsi bagaimana penulis membeberkan dunia kepenulisan.