Minggu, 19 Februari 2017

Menapak Tilas Peradaban Islam dalam Journey To Andalusia

Judul :  Journey To Andalusia : Jelajah Tiga Daulah 
Penulis : Marfuah Panji Astuti
Design cover : Yanyan Wijaya
Penerbit : BIP
Cetakan : Pertama, 2017
ISBN : 978-602-394-391-3
Blurb
“Andalusia itu di Turki, ya?"

Tidak banyak generasi muda Muslim yang masih mengetahui jejak sejarah Andalusia. Sebenarnya, Andalusia adalah sejarah yang paripurna, negeri sejuta cahaya, tempat segala hal hebat berawal. Islam pernah menyinari negeri itu dengan ilmu pengetahuan, peradaban,d an kemanusiaan selama 800 tahun. Lebih dari 2/3 sejarah Ialam ada di sana.

Kalkulus, algoritma, trigonometri, aljabar, adalah hasil pemikiran ilmuwan muslim bagi kemajuan peradaban. Tanpa penemuan-penemuan itu, tidak akan ada revolusi digital yang kita nimati saat ini. Catatan perjalanan ini bukan sekedar menjelaskan bahwa Islam pernah berada di Andalusia, wilayah yang kini bersama Spanyol, Portugal, dan sebagian Prancis-bukan di Turki-tapi juga mengingatkan bahwa benderang itu bersumber dari Islam.

Apakah Cordoba masih berpendar cahaya? Seperti apa Mezquita? Semolek apa istana Alhambra? Semua jawabannya ada di dalam catatan ini.


Telah kusaksikan Cordoba untukmu, Pi,

Di sana banyak luka sejarah, rasa sedih yang tak tersembuhkan bahkan setelah ribuan tahun lamanya,
Islam meninggalkan jejak yang tak terhapuskan : ilmu pengetahuan, peradaban dan kemanusiaan.
Alkisah terdapat sebuah negeri yang makmur di kontinental Afrika. Dahulu kala daerah itu berada dibawah pemerintahan dinasti Islam. Berabad-abad berlalu negeri itu berubah menjadi sebuah peradaban yang sangat maju dibawah kekuasaan dinasti Ummayah. Khalifah pertama negeri itu bernama Muawiyah bin Abi Sofyan. Dibawah kepemimpinannya Ummayah telah memperluas kekuasaannya hingga ke Spanyol.

Wilayah kekuasaan yang luas ini mampu menancapkan pilar-pilar Islam keseluruh Afrika Utara, Tangier dan Spanyol. Pertumbuhan negeri ini berlangsung cepat dan masif di segala sektor pemerintahan, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Hal ini juga yang membuat bangsa Eropa dan daerah jazirah Arab lainnya berbondon-bondong datang untuk mempelajari peradaban dan kemajuaan yang ditawarkan. Para pemikir, pendatang berkumpul dan tersebar di tepian kota. Pancaran sejuta cahaya menerangi kota-kota di bawah daulah ini, salah satunya Andalusia.

Kota itu hidup dalam tatanan Islam yang kuat. Pemimpin besar yang memegang teguh Islam sebagai kunci pemerintahan. Ilmu pengetahuan tumbuh pesat hingga melahirkan pemikir ulung dan ilmuwan termahsyur jauh sebelum ilmuwan Eropa lahir. Bangunan-bangunan dengan arsitektur megah menghiasi sudut-sudut kota Andalusia. Kini kota itu sangat dirindukan kejayaannya.

Dinasti Ummayah selain meninggalkan prasasti peradaban Islam juga meninggalkan kisah pilu. Andalusia sebagai salah satu pusat peradaban Ummayah runtuh perlahan. Kematian kota ini meninggalkan tangis ketika pengaruh Eropa menggantikan pilar-pilar Islam yang telah ditancapkan abad-abad silam. Dimana Andalusia dan jutaan cahaya yang menerangi langit-langitnya?




Marfuah Panji Astuti menelusuri rekam jejak kota-kota dibawah dinasti Ummayah selepas dari perjalanan umroh. Ia tidak sendiri, bersama suaminya yang dipanggil Lambang mereka melakukan perjalanan untuk sampai ke Andalusia. 

Perjalanan ini bukanlah singkat dan spontan seperti seseorang sedang backpackeran. Astuti sudah mengimpikan suatu hari nanti akan pergi ke kota-kota yang pernah ada dalam cerita 1001 malam atau tempat-tempat dalam cerita Abu Nawas dan Harun Al-Rasyid. Astuti membuat perencanaan untuk mewujudkan mimpinya itu.

Masjid Hassan II
Astuti dan Lambang berusaha mencari tahu rekam peninggalan masa daulah Ummayah ketika masih berjaya, demi merasakan masa kejayaan dinasti itu mereka menempuh jalur darat dan mengambil titik awal keberangkatan dari Maroko. Ketika berada di Maroko Astuti berkunjung ke Masjid Hassan II yang berada di kota Cassablanca. Masjid terbesar kedua setelah Masjidil Haram ini menggugah penulis dengan arsitekturnya yang megah dan indah. Astuti yang juga ditemani seorang lokal guide tour menyempatkan diri untuk sholat disana. Rasa takjub kian membuncah ketika melihat sisi dalam masjid yang bersih, terdapat kolam pemandian  dan tempat wudhu yang terbuat dari marmer. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan menuju kota Rabat untuk menuju sebuah tempat bersejarah bagi Indonesia. Mereka mengunjungi sebuah jalan bernama  Rue Soekarno. Jalan ini dinamai dengan nama presiden pertama Indonesia sebagai bentuk hubungan baik antara Maroko dan Indonesia yang telah berlangsung sebelum kedua negara ini merdeka. 


Perjalanan berlanjut menuju kota Fes yang terletak 198 km dari kota Rabat. Kota ini sangat penting untuk dikunjungi karna pusat kebudayaan Maroko ada disanai. Kota Fes sangat padat, punya tata kota yang berbentuk seperti labirin dengan gang-gang sempit. Fes memiliki banyak toko, klinik, pasar, madrasah dan tempat aktivitas jual beli lainnya. Bangunan-bangunan pertokoan dibuat menyatu dengan rumah pemilik yang  ada di lantai dua seperti ruko di Indonesia. Suasana kota Fes ini mengingatkan saya pada novel Love in Marrakesh by Irene Dyah. 

Salah satu sudut pasar di kota Fes

Karena perjalanan yang masih panjang Astuti segera melanjutkan perjalanan menuju Tangier. Tangier adalah sebuah kota pelabuhan yang terletak di utara Afrika. Kota ini digunakan sebagai akses untuk menyebrang menuju kota Tarifa yang berada di kota Malaga, Spanyol. Afrika dan Eropa dipisahkan oleh selat Gibraltar, yang dahulu diperebutkan karena letaknya yang strategis sebagai lintas perdagangan. Ketika masih di tepian akan terlihat pemandangan laut Mediterania yang bertemu Samudera Pasifik. Kekaguman akan makin terasa ketika berada di atas feri menyebrangi selat Gibraltar sembari merasakan tiupan angin laut.

Setiap perjalanan selalu memiliki inspirator atau orang-orang pendahulu yang telah lebih dulu melakukan peranjalanan. Layaknya Colombus yang terinspirasi dari pelayaran Marcopolo, Astuti terinspirasi dari perjalanan Ibnu Batutah ketika akan menuju Andalusia melalui Malaga menuju Madrid.
"Dalam pengembaraannya, ia memilih negeri ini. Andalusia yang bermandikan cahaya pengetahuan menyambutnya"


Buku  Journey To Andalusia ibarat pemuas dahaga bagi orang-orang yang sedang dalam keterbatas tak  bisa pergi namun sangat ingin berkunjung ke Andalusia. Aku sangat menikmati membaca kisah perjalanan Astuti menuju kota-kota bekas masa daulah Ummayah di buku ini. Banyak informasi yang dituturkan oleh penulis baik itu yang ia dapat dari membaca litertur  maupun dari para guide tour yang menemaninya. Buku ini termasuk jenis bacaan favoritku terutama ketika sedang bosan dengan buku genre fantasi dan romance dan ingin mencari bacaan menggugah dan informatif. 

Membaca buku-buku perjalanan religi sebenarnya kerap bikin aku mengantuk dan ingin menjauhinya kalau bisa. Jelas buku-buku yang seperti itu ingin aku hindari. Aku lebih memilih baca buku macam  National Geographic  jika tujuannya untuk menemukan tempat-tempat baru atau sekedar menikmati  kisah perjalanan tempat-tempat inspiratif. Tapi buku ini beda, ia bisa jadi pengubah pandanganku yang semula ogah-ogahan menjadi tertarik untuk mendalaminya. 
Aku mulai tertarik membaca buku ini ketika di halaman pertama sudah dibuka dengan foto-foto hasil perjalanan si penulis. Foto-foto cantik berlatar belakang pemdangan laut dan bangunan khas Arab lama terlihat cantik dan juga memukau. 

Penulis bertutur dengan gaya cerita yang ringan dan akrab, membuat aku yang membacanya serasa ikut serta dalam perjalanan mereka. 

Benar saja, di ujung tembok tua, terlihat patung berjubah dan memakai surban."Itu ya, Pak? tanya saya yang langsung dijawab dengan anggukan kepala. Duh, saya senang sekali., seperti anak kecil yang mendapat hadiah untuk pertama kali. - hlm 110

Walaupun tidak ada pembagian bab per bab, buku ini selalu diselipi kutipan-kutipan tiap kali penulis berpindah ke kota lain. Kutipannya diambil dari refrensi yang telah dibaca penulis. Salah satunya dari buku yang dikarang Buya Hamka dan juga beberapa yang tidak disebutkan nama refrensi tempat kutipan diambil. Dari banyak kutipan yang ada, yang paling kusuka adalah  bab yang membahas saat penulis sedang berada di Cordoba.

Tapi pendulum sejarah tak bisa diubah,

Mihrab itu kini berada di balik jeruji besi,

Suara azan tergantikan dentang lonceng,

Aku menangis di Mezquita ...

Saat-saat ketika penulis tiba di Cordoba dan berkunjung ke Mezquita, bangunan yang dahulunya sebuah masjid terbesar di Cordoba Spanyol adalah hal paling menyayat sekaligus luka bagi umat muslim yang melihatnya. Kini bangunan itu telah beralih menjadi gereja Katedral, masih sama bentuknya saat pertama kali didirikan. Walaupun banyak bagian-bagian dalam bangunan gereja seperti tulisan kaligrafi dan ruangan yang telah dialih fungsikan bahkan dihilangkan, tetap fakta bahwa dulu ini adalah masjid tidak bisa dihapuskan. Kunjungan penulis ke Cordoba sama dengan yang dilakukan Hanum di film 99 Cahaya di Langit Eropa. 

Kisah di dalam buku Journey to Andalusia bukan semata-mata jalan-jalan. Ada pengetahuan yang ingin dibagi oleh penulis tentang sejarah di tiap kota yang dikunjunginya. Setiap tempat memiliki cerita dan meninggalkan saksi bukti sejarah. Peninggalan macam patung penghargaan sosok berjasa dan bangunan masjid menjadi saksi Islam pernah berjaya di Afrika dan Eropa. 

Membaca buku ini seperti diingatkan kembali dengan petikan akhir pidato Soekarno tentang ‘Jas Merah’. Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah. Arti sejarah yang dimaksudkan dalam buku ini ialah sejarah Islam sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Islam pernah tumbuh membentuk peradaban  yang sangat maju melampaui bangsa Eropa. Kecanggihan dan kemajuan teknologi bangsa barat tidak lebih dari meniru, memodifikasi dan mengembangkan apa yang telah ditemukan oleh ilmuwan Islam sebelumnya. Dunia berhutang banyak pada pemikir Islam. 
“Sejatinya, apa yang terjadi di Andalusia pada waktu itu adalah apa yang terjadi di Palestina saat ini. Secara bertahap dan sistematis, umat Islam diusir dari Tanah Airnya.” 
Aku ikut merasakan keresahan hati penulis mengingat bahwa sejarah Andalusia dan kemunduran dinasti Islam perlahan dilupakan terutama di kalangan anak muda. Maka dari itu penulis menuliskan kisah perjalanannya dan membukukannya agar orang-orang dari segala kalangan, agama maupun usia dapat mengetahui kisah masa Andalusia dan kejayaannya dulu. 

Aku tidak pesimis untuk itu. Anak muda saat ini memang lebih menggemari kisah roman populer atau bacaan digital macam wattpad ketimbang buku-buku sejarah. Tapi seperti hal nya kata tante Rowling, mereka hanya belum menemukan bacaan yang tepat saja. Buku seperti Journey to Andalusia harus selalu dituliskan dan disebarkan pada siapapun, agar sejarah tidak putus di saat ini saja. Akan terus berlanjut hingga ke generasi yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Appeciate with my pleasure.

~ VS

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...