|
Judul: KATA DALAM KOTAK KACA
Penulis: Pia Devina
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Cetakan I, Agustus 2015
Tebal: 185 Halaman
|
Jana dan Pandu telah bersahabat sejak kecil. Rumah mereka berseberangan. Namun
sejak delapan tahun lalu jana menyimpan perasaan pada Pandu. Hingga kini ia
belum bisa mengutarakannya. Karena Pandu pun terlihat hanya menganggapnya
sebagai sahabat saja.
Dulu di ulang tahun ke dua puluh dua, Jana mulai dekat dengan Angga. Pria itu
hadir di perayaan ulang tahunnya dan meninggalkan tanda bahwa Angga ingin
menjalin kasih dengannya. Tidak lama Jana berpacaran dengan Angga. Tapi ada
sesuatu yang mengganjal di hatinya, apakah Pandu bahagia melihatnya bersama
Angga. Padahal hati Jana sejak lama sudah tertuju padanya.
Setelah putus dari Angga, Jana resign dari pekerjaannya di Jakarta dan beralih
menjadi guide tour di travel agent
milik pamannya. Tapi itu bukan alasan sebenarnya, sesaat sebelum itu Pandu
tengah dekat dengan gadis bernama Tiara. Pandu terlihat sangat serius dengan
hubungan mereka, bahkan sudah merencanakan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahaan.
Makin bulat keputusan Jana untuk menjauh dari Pandu dan perasaannya.
Suatu ketika Jana pulang ke Jakarta karena ayahnya yang sakit. Ia tidak
bisa membiarkan kondisinya memburuk walaupun sudah ada ibu dan kak Dinda yang
menemani. Keputusan untuk menetap kembali bersama kedua orang tuanya sempat terlintas.
Namun lagi-lagi berat baginya untuk tinggal. Apalagi pernikahan Pandu akan berlangsung
sebentar lagi. Ditambah lagi munculnya Angga kedalam hidupnya berhasil membuka
kenangan lama masa lalu mereka.
”Mungkin aku memang benar-benar terlalu sibuk dengan keegoisanku. Terlalu sibuk
memikirkan diri sendiri yang bertambah
dewasa, namun lupa bahwa usia orangtuaku juga semakin senja.”
Untuk Jana, tidak mudah ternyata berada di antara dua orang yang dulu pernah
singgah di hatinya. Sikap Pandu yang semakin tidak ingin melepaskan Jana
padahal sudah mendekati minggu pernikahannya. Ditambah lagi perhatian Angga yang
tidak berubah sejak masa berpacaran dulu. Dan Kak Dinda yang selalu mendorong
Jana untuk mengungkapkan perasaanya, walaupun Jana sendiri pesimis hal itu
akan mengubah takdir persahabatannya.
Dari segi tema
buku ini adalah makanan favoritku. Tema friendzone tidak pernah terasa
membosankan untukku. Apalagi kenangan masa lalu selalu tak pernah habis untuk
dibahas bukan?
Untuk buku
setebal 182 buku ini bisa
dibilang punya alur yang lambat. Penulis banyak bermain menggunakan alur mundur
untuk kisah Jana dan Pandu ini. Saya jadi makin dapat mengetahui masalah cinta yang
dilalui karakternya selama beberapa tahun belakangan.
Saya bisa mengerti
sekali keresahan hati Jana yang belum siap untuk melihat Pandu bersama yang
lain. Apalagi mereka sudah bersama sekian lama, seperti kehilangan separuh
kaki. Akan limbung saat yang satunya pergi.
Disisi lain saya
kurang suka dengan Jana yang cenderung kekanak-kanakan dan membohongi diri
sendiri. Munafik. Ia tahu dia salah
namun tetap saja diteruskan. Diusia yang seperti itu bukan kedewasaan yang saya
tangkap darinya tapi keegoisan untuk melukai hati sendiri dengan alasan demi
kebahagiaan orang lain. Jana ini juga sibuk berkhayal mengharapkan dirinyalah yang
akan menjadi pendamping Pandu. Lalu mengapa tidak dikatakan saja? Show up!
“Pertunangan ini
adalah hal yang selalu kuimpikan. Namun, akulah yang menjadi pasangan Pandu. Lalu
... haraepan itu terawa angin dan terbang,”
Menurutku Jana
adalah wanita yang terlalu mudah pasrah pada takdir. Mudah sekali menyerah, saya
bisa merasakan penyesalan yang ia bagi lewat cerita ini. Tapi lama kelamaan aku
melihat cinta yang ia pendam pada Pandu itu hanya semu. Bukankah jika memang
betul mencintai seseorang ia tak akan ragu memperjuangkan cintanya?
“Kenyataan sering
kali lebih pahit dibandingkan imajinasi. Aku menyadari baru-baru ini, sedekat
apa pun kami, sesungguhnya tidak pernah ada rasa yang tumbuh di hati Pandu
untukku.”
Bagian yang
paling membekas untukku ada di saat Pandu mengajak Jana short trip ke Bali. Perjalanan
mereka disana benar-benar singkat. Walaupun destinasi yang mereka tuju sangat
mainstream, sudah sangat umum dan menurutku ‘seperti tidak ada yang lebih menarik
saja’. Ucapan Pandu saat mereka menonton tari Kecak sangat membekas. Seolah sangat
sulit untuknya melepaskan Jana.
“Seandainya aku
aku tidak mencintai laki-laki dihadapanku ini sejak delapan tahun lalu, mungkin
aku akan akan merasa terhormat atas permintaanya. Nyatanya aku tidak bisa membohongi hatiku sendiri. Mungkin
harus ada seseorang yang mengajariku cara memanipulasi hati.”
Pandu, aku tidak
bisa berkata banyak tentang dia. Tapi sosok dialah yang membuat Jana melepaskan
pria sebaiik Angga. Pandu memang cenderung protektif, sama munafiknya dengan
Jana. Maaf saja kalau saya berulang kali menyebut kata ini. Tapi memang begitu
adanya. Perhatiannya malah hanya dianggap sebagai hal biasa yang ditujukan
sahabat dengan sahabat. Jana yang tidak paham dengan perhatian-perhatian itu
akhirnya ... Blass!! Lenyap begitu saja.
Walaupun novel ini
tidak berhasil merebut hatiku hewat chemistry tokoh-tokohnya, setidaknya
membuatku sadar dalam sebuah persahabatan, jatuh cinta dengan sahabat sendiri
sangat mungkin terjadi. Membaca buku ini mengajariku bahwa lari dari masalah
dan membohongi perasaan sendiri tidak akan mengubah apapun apalagi ini tentang
hati.
Kalau kamu saat
ini sedang terjebak friendzone seperti Pandu dan Jana, bacalah novel ini. Setidaknya
rasa sakit yang kalian alami bisa semakin parah bahkan dibikin hingga
menitikkan air mata setelah baca buku ini.