 |
Judul : Generasi Emas Penulis : Jonathan Haidt Penerbit : KPG Cetakan pertama, 2025 Tebal : 417 hlm |
Kapan kamu terakhir melihat anak-anak kecil bermain tanpa menggemgam ponsel? Membaca Generasi Cemas justru membuatku merinding bahwa kita telah banyak kehilangan masa kecil penuh kesenangan lalu menukarnya untuk sebuah 'kemajuan'.
Teringat masa kecil saat ibuku sulit 'menyeretku' pulang karena keasikan main bersama teman-teman sampai sore. Ditulis oleh psikolog sosial, Jonathan Haidt membuka mata pembaca bahwa anak-anak kini lebih sulit untuk lepas dari smart phone mereka ketimbang memisahkan anak-anak untuk pulang kerumah akibat asik main diluar. Ia juga mengupas habis-habisan pengaruh smartphone terhadap perubahan pola perilaku pra-remaja dan remaja awal khususnya Gen Z yang selalu diliputi kecemasan dan mudah frustrasi.
Penulis menyoroti bagaimana peran orangtua justru overproteksi terhadap anak di dunia nyata, namun kurang pengawasan pada anak di media sosial. Orangtua yang didominasi boomers sangat mudah memberikan anak mereka smarthphone sebelum usia yang cukup, dibuku ini kedewasaan seorang anak minimum pada usia 16 tahun.
Buku ini terdiri dari 4 bagian :
- hakikat masa kanak-kanak
- hilangnya masa kanak-kanak berbasis permainan
- munculnya masa kanak-kanak berbasih ponsel
- tindakan kolektif untuk masa depan kanak-kanak yang lebih sehat
Sebagai seorang guru saya sering menatap sedih anak-anak murid saya sering bersikap cemas dan kehilangan fokus. Jasad dan fisik mereka ada di kelas bersama saya, namun tidak dengan pikirannya. Mereka kehilangan fokus saat saya menanyakan hal yang baru saja disampaikan. Wajah yang tampak kebingungan saat saya memberikan umpan balik maupun pertanyaan pemantik.
Buku ini mengesankan untuk saya karena disampaikan dengan jujur, meluap-luap dan apa adanya. Setiap narasinya menuntun pada hasil riset Haidt bersama rekan-rekannya jadi bukan hanya sembarang opini namun konkrit. Haidt menerapkan penelitian korelasi dalam aspek-aspek yang hendak ia sampaikan. Ia mengaitkan antar aspek serta pengaruhnya terhadap remaja Gen Z saat ini. Selain data penelitian, terdapat perbandingan melalui foto dan pengalaman pribadi si penulis alami dan bagaimana hal itu ia bandingkan dengan perilaku anaknya membuat buku ini tampak seakan disusun sangat realistis terhadap apa yang terjadi saat ini.
Haid secara gamblang menyampaikan apa yang terjadi saat awal tahun 2010 dimana smartphone merajai pasar dan algoritma Google telah mengubah cara pandang masyarakat dalam berinteraksi di dunia virtual dan luring. Pada awal 2010-an remaja mulai beralih dari ponsel ke smartphone. Selain itu pernyataan pahit tentang bagaimana pengaruh smartphone dapat mengganggu interaksi tatap muka yang seharusnya jadi fase penting kecerdasan serta tumbuh kembang anak. Kehadiran smartphone mampu menurunkan interaksi anak dengan orangtua.
Gen Z adalah kelompok yang sangat terisolasi. Kami memiliki persahabatan yang dangkal dan hubungan romantis remeh yang sangat dimediasi dan diatur oleh media sosial.
Tidak dapat dipungkiri membaca buku ini menyisakan pil pahit yang harus kami terima, khususnya guru yang menghabiskan waktu paling banyak bersama anak-anak di sekolah. Belakangan ini anak-anak mengalami perubahan perilaku, mereka tampak jarang berkumpul dan berinteraksi dengan kawannya. Dikelas anak-anak sering mengantuk dan kurang fokus, yang dapat kami kenali bahwa ini gejala kurang tidur yang dihasilkan dari bermain game online dan scrolling sosial media hingga larut malam. Pasca pandemi pola interaksi pelajar di sekolah jauh menurun ditandai dengan rasa malas berinteraksi sosial secara langsung, pergi keluar rumah dan beraktivitas fisik.
"Seperti ditunjukan oleh Jean Twenge, remaha yang menghabiskan lebih banyak waktu menggunakan media sosial lebih cenderung menderita depresi, kecemasan, dan gangguan lainnya"
Anak-anak perlu bermain diluar, berinteraksi secara langsung dan merasakan pengalaman tanpa pengaruh intervensi orang dewasa. Mereka pikir berinteraksi di media sosial, memindahkan interaksi ke Instragram, Discord, dan Whatsapp bisa menggantikan interaksi langsung dengan sesama. Justru hanya menimbulkan rasa keterasingan yang memicu kecemasan, kesepian dan depresi.
Perubahan perilaku pasca kehadiran smartphone berdampak berbeda pada laki-laki dan perempuan. Hal ini menjadi kelebihan narasi yang diungkapkan oleh penulis menghadirkan perspektif yang dalam dan bermakna. Keberadaan media sosial memberikan tekanan yang lebih besar bagi perempuan, memicu rasa keterasingan dan membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang asing yang bahkan tidak dikenal. Sedangkan pengaruhnya bagi laki-laki menimbulkan ketergantungan seperti bermain video games, pornografi dan sifat frustratif.
Jujur saya menikmati hasil riset yang disajikan oleh penulis, hanya saja beberapa elemen seperti faktor lain diluar smartphone semestinya bisa dihadirkan juga untuk melihat dari perspektif berbeda bahwa perubahan perilaku remaja tidak hanya berdasar pada perubahan teknologi namun faktor ekonomi, lingkungan dan pola pengasuhan keluarga akan membentuk perubahan perilaku hingga karakter.
Buku ini bukan buku yang dapat habis sekali duduk. Pembaca akan diberi rasa tidak nyaman, penulis menghadirkan kebenaran pahit dan mungkin akan membuat pembaca berpikir kembali bagaimana membesarkan anak dan mendidik siswa di sekolah. Buku ini diciptakan untuk mereka yang mau belajar, khususnya orangtua, guru, instansi pendidikan, dan masyarakat umum.
Tidak ada yang tidak mungkin, diakhir buku ini diberikan langkah-langkah dan solusi-tidak ada yang tidak mungkin untuk memperbaiki keadaan. Kuncinya mengembalikan fitrah anak untuk tumbuh sesuai kodratnya, sesuai dengan usianya yakni bermain dan berinteraksi dengan sesama.
My Rate : 4,5/5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Appeciate with my pleasure.
~ VS