Minggu, 28 Agustus 2016

Resensi Jatuh Cinta Diam-Diam karya Dwitasari



Judul: Jatuh Cinta Diam-Diam

Penulis: Dwitasari

Penerbit: Plotpoint

Tebal: 217 halaman

Tahun Terbit: 2014

Rating : 3/5 


Setiap orang punya caranya sendiri untuk mencintai; memilih untuk diam, memerhatikan dari jauh, atau mendoakan diam-diam. Setiap orang punya caranya sendiri untuk jatuh cinta tanpa membaginya dengan orang yang dia cinta. Setiap orang juga punya cara sendiri untuk berbagi tawa dan menyembunyikan tangisnya sendiri.

Setelah sukses dengan Raksasa Dari Jogja, Dwitasari kini mengumpulkan 14 kisah ini. Kisah tentang kebahagiaan mencintai dan kepedihan memendam cinta. Kisah tentang orang-orang yang menyimpan sebuah nama di hati mereka. Kisah yang akan membuat kita bertanya: apa halangan untuk nyatakan cinta?

Menyukai rekan sesama kantor tapi berujung tidak mau mengungkapkan. Padahal kesempatan jelas terbuka di depan mata. Hal-hal kecil seperti berebut bangku di hari pertama sekolah tapi menjadi awal persahabatan yang dilema karena justru persahabatan itu menumbuhkan cinta. Atau cinta yang hadir karena terbiasa memerhatikan hal kecil seperti memesan kopi apa dia malam ini dan bagaimana responnya setiap kali membicarakan filosofi dari kopi itu sendiri misalnya. Atau Atau hal paling Dilematis di muka bumi ini, saat kau jatuh cinta dan terhalang perbedaan keyakinan.

Semua itu jatuh cinta diam-diam. Dan hampir seluruh manusia merasakannya. Tapi memang hal utama dalam hidup ini adalah tidak semua makhluk bisa jadi milikmu. Tidak semua cinta berhasil berbalas. Sebagian besar diantaranya yang pupus. Dan buku ini mengambil secuil peliknya jatuh cinta diam-diam kedalam cerpen yang ditulis olehnya SENDIRI. Namun disamarkan menjadi beberapa nama yang berbeda.

Ini kali pertama saya membaca buku tulisan Dwitasari. Dan, well saya tidak tertipu dengan gaya menulisnya yang hampir sama disetiap nama di dalam kumcer ini. Terlebih sudah ribuan yang menyebutkan gaya menulis Dwita yang monoton, over sastrais, puitis dan bertele-tele. Yang tidak penting menjadi penting, yang bisa singkat dan padat malah membikin buku ini diisi orang-orang yang pemikirannya alay.

Saya sudah pernah mendengar kasus yang membawa nama Dwitasari di sosial media. Karena ia kelihatannya cukup fenomenal di sosial media maka saya memberanikan diri membaca buku karangannya. Dan inilah buku pertama Dwita yang saya baca dan setelah menyelesaikannya, saya jadi mengetahui mengapa para Goodreaders sering mencecar buku-bukunya.

Pertama, tidak ada twist, yang ada hanya deskripsi. Tidak sistematis yang ada dibikin-bikin melankolis. 

Kedua, keberadaan kata-kata puitis ditempatkan secara gamblang dan tidak disesuaikan dengan dialog karakternya. Sebenarnya kata puitis dan quotes bisa disisipkan di mana saja terserah si penulis. Tapi dalam buku ini quotes yang bertebaran dimana-mana memberi rasa tidak nyaman bahkan terlalu dipaksakan. Ketahuan sekali si penulis ini hobi menulis puisi dan terlalu sastraisme :p Entah benar penyebutanku atau memang aku saja yang sedang sesnsitif.

Ketiga, terlalu banyak narasi yang pada akhirnya membuat bosan. Akan lebih baik jika si penulis lebih banyak menggunakan teknik showing saat bercerita ketimbang telling. Apalagi buku ini hanya berisi kumpulan cerpen harusnya bisa lebih dimaksimalkan.

Oh Dwita, andai kau tahu tema yang kau coba tuliskan sangatlah bagus. Siapa yang tidak tertarik membaca buku Jatuh cinta diam-diam?? Setiap cerpenmu masih bisa dikembangkan sebagai novel kalau kau mau berpikir lebih jauh dan dalam. Jujur saya menyukai temanya, tapi sayang penulis masih perlu belajar lagi. Ia masih harus belajar menulis yang lebih berkembang dan bukan asal menyisipkan quote atau kata mutiara.

Sesuaikan sifat setiap karakter dengan gaya bicaranya. Buat senatural mungkin agar pembaca nggak JENGAH mencoba memahami apa yang dirasakan tiap karakternya. 

Menulis puisi jelas berbeda dengan menulis novel, Dwita.

Cover lama
NB: Inilah sekian banyak quotes yang bertebaran di buku ini. Dikutip dari blog milik Watin Sofiyah. Bahkan membaca quoesnya saja sudah lebih dari cukup untuk mereka yang juga merasakan jatuh cinta diam-diam.

Quotes―
  • Rasa lelahku saja berangsur sembuh ketika kutatap matanya yang bening. Namun, tajamnya tatapan itu juga selalu membuat jantungku tertusuk dengan amarah yang sebenarnya tak kupahami.Rasa, hal.2

  • Dan, setiap hari aku juga selalu berdoa agar tak pernah jadi bagian dari orang-orang yang berjanji untuk kembali namun malah lupa untuk kembali.Rasa, hal.4

  • “Aku udah bilang, kalau ada apa-apa jangan lari ke alkohol, lari ke aku aja. Pacarmu kenapa lagi?”Rasa, hal.8

  • Aku tak bisa membalas rengkuhan itu. Jujur hatiku berbunga-bunga ketika kami bisa berjarak sedekat ini.Rasa, hal.9

  • Tak ada kehangatan dalam pelukan ini, entahmungkin karena hatiku ikut menjadi dingin ketika wanita yang kucintai ini kembali bercerita tentang pria lain.Rasa, hal.9

  • Aku hanya ingin mendengar dia berbicara, aku ingin mengetahui seberapa parah lukanya. Apakah separah yang kurasakan?Rasa, hal.10

  • Melihat dia menangis, tapi tak bisa berbuat banyak, rasanya aku ingin meledak. Selalu dia menumpahkan tangisnya di bahuku, sementara baru kali ini aku seolah membasahi hatiku dengan air mata yang tak berwujud air yang keluar dari mata. Aku masih sanggup menahan diri, masih bisa berakting sempurna. Tapi, di dalam sinikami sama-sama sedih, tapi kami menangis hal yang berbeda.Rasa, hal.11

  • Aku hanya menyediakan telinga dan hatiku. Meraba-raba hatiku sendiri, dan hatinya, apakah luka yang diberikan pria itu sungguh sangat dalam? Bukankah pria itu selalu melukainya? Harusnya dia sudah terbiasa dengan luka itulayaknya aku yang terbiasa dengan luka yang dia berikan.Rasa, hal.11

  • Kurasa tak ada yang perlu lagi untuk dijelaskan. Seberapa panjang kata yang kulontarkan belum tentu membuatnya paham. Aku diam. Rasa, hal.12

  • Ini munafik. Sungguh. Aku berusaha membuatnya merasa bahwa segalanya baik-baik saja meskipun yang kurasakan saat ini adalah perasaan yng bahkan kata pun tak mampu mendeskripsikannya.Rasa, hal.12

  • Seandainya dia tahu, sakitnya bukanlah sakit yang paling sakit. Ketika berada di dekatnya, aku tak bisa menyatakan perasaanku. Aku hanya pria yang senang menunggu, selalu menunggu, dan mengharapkan dia datang. Terlalu tinggikah harapan seperti itu?Rasa, hal.12

  • “Apa yang lebih sakit daripada ditinggalkan seseorang yang paling kau sayang?”Rasa, hal.12

  • Apa yang lebih sakit daripada ditinggalkan seseorang yang paling kau sayang? Tentu saja ada. Ada yang lebih sakit daripada itu. Mencintai seseorang yang begitu dekat, tapi cinta yang selalu bertumbuh itu tak pernah menyentuh dan menjamah.Rasa, hal.13

  • Di bahuku dia tersenyum haru. Di bahunya hatiku menangis pilu. Mungkin, lain kali, pada pelukan entah yang ke berapa, aku akan mengatakanaku mencintainya.Rasa, hal.13

  • Aku berusah agar tangisku tidak pecah. Sebenarnya, dadaku begitu sesak.Melihatmu, hal.17

  • Kalau kau pikir kau bodoh, aku memang sudah lama bodoh seperti ini. Sejak mengenal dia, mungkin aku tambah bodoh.Melihatmu, hal.18

  • “Kalau pulang untuk melihat seseorang yang sudah pergi, apa tetap menyenangkan?”Melihatmu, hal.20

  • Aku selalu jadi pendengar yang baik, juga penonton yang tak banyak mengeluh.Melihatmu, hal.21

  • Dia berganti-ganti pasangan semudah mengganti batang rokok yang mulai memendek dengan batang rokok baru yang lebih panjang.Melihatmu, hal.24

  • Tak banyak orang yang tahu mengenai persahabatan kami. Persahabatan? Aku bahkan tak tahu dia menganggapku apa. Mungkin teman, mungkin juga hanya pendengar dan penonton drama kehidupannya.Melihatmu, hal.25

  • Aku mencintainya, cinta yang berusaha kusembunyikan dalam setiap sikap dinginku.Melihatmu, hal.25

  • “Aku selalu siap dengan berbagai macam kehilangan, tapi aku nggak pernah siap kehilangan kamu.”Melihatmu, hal.29

  • “Baguslah kalau kamu mendengar dan menyadari. Kali ini nggak perlu aku saja yang mendengar. Kita harus saling mendengar. Biarkan aku juga terlibat dalam hidupmu, bukan hanya jadi penonton.”Melihatmu, hal.29

  • “Dan, semoga, air matamu kali ini bukan seperti yang biasabukan drama.”Melihatmu, hal.29

  • Mungkin ini cinta atau ketertarikan sesaat. Aku tak tahu. Aku hanya merasa menemukan sosok yang berbeda. Laki-laki yang tidak seperti ayahku. Laki-laki yang bersusah payah demi melindungi perempuan.Jari Manis, hal.52

  • Beberapa hal berubah, tapi di antara perubahan ini masih ada yang tetap dan selalu ada. Hatiku sampai saat ini masih dihuni oleh satu orang.Jari Manis, hal.54

  • Hal yang kukhawatirkan memang terjadi. Perkenalan kami begitu singkat, tapi kenangan begitu mudah melekat. Dan, kenangan itu muncul sewaktu-waktu, seperti pagi ini misalnya.Jari Manis, hal.54

  • Beberapa saat kemudian, rasa bimbangku punah. Aku tak jadi melakukan hal itu. Aku tak layak mengungkapkan perasaanku yang telah tumbuh dan semakin tumbuh. Aku mengurungkan keinginanku untuk menegur dan menyapanya. Biarlah semua cinta tetap ada walaupun terjebak dalam diam. Cincin yang melingkar di jari manis tangan kanannya sudah cukup membuat aku mengerti.Jari Manis, hal.57

  • It’s okay, yang pertama selalu full of shit, kok. Itulah makanya lebih baik kita menikah dengan cinta terakhir daripada cinta pertama.”Dalam Tawa, hal.65

  • “Kamu itu spesial. Yang harus kamu lakukan adalah merasa spesial dan nggak minder sama kata orang lain, got it?”Dalam Tawa, hal.66

  • Dia datang pada saat yang tepat, saat hatiku hampir terkunci rapat. Aku memang sedang membutuhkan laki-laki humoris yang tak akan lagi membuatku menangis. Sosok itu kutemukan dalam dirinya.Dalam Tawa, hal.67

  • Aku tak tahu bagaimana perasaannya terhadapku. Aku tak boleh tergesa-gesa menyebut segalanya adalah cinta. Cinta bukan sepaket perkenalan yang terbentuk tanpa proses. Semua harus butuh proses. Tapi, bukankah aku dan dia memang sedang dalam proses?Dalam Tawa, hal.67

  • Hidup itu kadang aneh dan sulit dimengerti. Air mata bisa berarti segalanya. Saat kita menangis terlalu kencnag, suara tangismu terdengar seperti tawa. Ketika tertawa terlalu kencang, tawamu malah mengeluarkan air mata. Aku ingin terus tertawa seperti ini, terutama jika tawaku disebabkan oleh dia.Dalam Tawa, hal.69

  • Dia memelukku sekali lagi dan wajahku terbenam di dadanya. Namun, tak kudengar detak jantung yang memburu di sana.Dalam Tawa, hal.71

  • Aku menghela napas, berusaha mengumpulkan kekuatan agar tetap terlihat baik-baik saja di depan dia dan kekasihnya.Dalam Tawa, hal.75

  • Matanya berbinar terang dan wajahya terlihat sangat bahagia. Perempuan yang tangannya terus dia genggam itu juga ikut bahagia. Sekarang aku tak tahu apakah aku harus tersenyum senang atau menunjukkan perasaan sedihku?Dalam Tawa, hal.75

  • Ah, orang yang pernah membuatmu tertawa paling kencang adalah orang yang akan membuatmu menangis paling kencang.Dalam Tawa, hal.76

  • “Perbedaan yang paling indah adalah perbedaan yang mampu menciptakan penyatuan.”Komedi Kampus, hal.83

  • “Kamu hanya perlu memercayai kata hatimu, kadang yang terlihat belum tentu yang sesungguhnya terjadi.”Komedi Kampus, hal.90

  • “Begitu kuat. Begitu dalam. Sampai saya tak temukan lagi alasan, mengapa harus kamu yang saya cinta?”Susu Kaleng, hal.101

  • Iya, cinta memang gaib. Begitu gaib, sampai-sampai membuat mereka yang berbeda dalam segala hal bisa bertemu, saling tahu, dan bisa saja saling cemburu.Susu Kaleng, hal.101

  • Segalanya terjadi begitu saja, seolah tak perlu dorongan apa pun selain kenyamanan dan keinginan untuk terus bersama.Susu Kaleng, hal.104

  • “Lagi pula, apa yang kamu harapkan dari seseorang yang tempat ibadahnya berbeda denganmu? Penyatuan? Omong kosong!”Memilih, hal.117

  • Mereka hanya membiarkan waktu yang mengubah keadaan. Mereka percaya bahwa perbedaan tak akan menjadi halangan. Kepercayaan itu sampai saat ini memang belum terpatahkan.Memilih, hal.118

  • Iya, mereka terlihat biasa saja, tapi selalu ada hal yang mengganjal di hati mereka masing-masing. Hal yang mereka hindari untuk diperbincangkan di tengah-tengah perasaan cinta mereka.Memilih, hal.118

  • Jatuh cinta diam-diam. Saling merasakan, tapi belum ada yang mau mengungkapkan. Meski keduanya saling tahu bahwa bagi satu sama lain, keduanya bukan sekadar teman.Memilih, hal.118

  • Tak ada ucapan dan panggilan sayang. Mereka hanya bertahan pada tindakan nyata.Memilih, hal.118

  • Mencintai seseorang yang memiliki keyakinan berbeda bukanlah keinginannya.Memilih, hal.118

  • Mereka ingin menjawab pertanyaan yang selama ini masih menggantung, apakah perbedaan agama tak layak disatukan dengan cinta?Memilih, hal.119

  • “Aku bingung, kita mau berjalan ke arah mana. Nampaknya semua arah adalah arah yang salah.”Memilih, hal.119

  • “Jika semua arah terlihat salah, mungkin akan lebih baik kalau kita nggak sekadar berjalan ke depan, tapi juga melihat ke atas. Melihat ke arah Dia yang selalu sibuk mengawasi kita.”Memilih, hal.119

  • “Janji sama aku, kamu harus lebih bahagia.”Memilih, hal.123

  • Keduanya tak pernah saling mengungkapkan perasaan. Mereka terus diam, bahkan saat memilih untuk mengakhiri segalanya.Memilih, hal.124

  • Akan sulit bertindak seperti biasa ketika seorang gadis duduk berdekatan dengan pemuda yang membuat debaran jantungnya berdetak tak karuan. Apalagi jika pemuda itu mirip dengan seseorang yang seharusnya dilupakan.Pertemuan, hal.130

  • Dia yang selalu membuatku tersenyum ketika aku membayangkannya, dia yang sering membuatku tertawa dalam hati ketika mengingat percakapan bersamanya, dia yang membuat jantungku berdebar cepat saat kurangkai tatapan matanya yang hangat di dalam benakku.Melepas Matahari, hal.143

  • Sebenarnya, aku berbohong. Aku selalu takut kehilangan dia, sosok yang belum benar-benar kumiliki. Aku tak selalu di sampingnya, tak selalu bertukar kabar dengannya, tapi rindu seperti punya kendali khusus. Aku tidak bisa menolak untuk tidak mencintai dan merindukannya.Melepas Matahari, hal.145

  • Jawaban tadi sedikit membuat nyaliku kecut. Aku datang dengan perasaan menggebu dan harus berhadapan dengan fakta sederhana, status sebagai teman. Rasanya aku mau meledak.Melepas Matahari, hal.145

  • Keinginanku untuk mengungkapkan perasaan kembali lumpuh dan patah. Aku belum berani mengungkapkan rasa, aku memilih jatuh cinta diam-diam. Dalam keadaan menyembunyikan perasaan seperti ini, aku tetap bahagia. Kebahagiaan itu sulit kujelaskan. Ruang untuk mencintainya semakin besar dan aku tak mengerti mengapa sampai saat ini aku belum benar-benar berhasil menggapainya. Mungkinkah dia terlalu tinggi untukku? Apakah dia terlalu sempurna untuk kugenggam?Melepas Matahari, hal.146

  • Dialah matahari yang menghapus mendungku selama ini.Melepas Matahari, hal.147

  • Aku merasa seperti dilemparkan waktu untuk kembali ke masa lalu, saat cinta masih begitu tulus dan tanpa tuntutan, saat cinta tak butuh pengungkapan, tapi cukup dengan tindakan, bukan sekedar perkataan.Perpisahan Sunyi, hal.161

  • Perasaan rindu yang terpendam bertahun-tahun ini tak meledak bagai petasan lebaran atau berkoar seperti terompet milih supporter.Perpisahan Sunyi, hal.161

  • Kenangan cinta pertama memang sulit untuk dilupakan. Itulah saat cinta benar-benar menemukan ketulusannya, saat cinta menjelma menjadi bagian yang membawa energi positif bagi seseorang. Sayangnya, tak semua cinta pertama berakhir bahagia. Ada yang dipendam dalam diam, ada juga yang tertahan karena malu untuk diungkapkan. Aku pasti bukan orang pertama yang hanya mampu memendam dan terus diam.Perpisahan Sunyi, hal.162

  • Ah, betapa melupakan sungguh sangat sulit, meskipun aku begitu yakin telah mengikhlaskan.Perpisahan Sunyi, hal.162

  • Kini dia meninggalkanku tanpa sempat mendengarku mengungkapkan perasaan. Semudah ketika aku meninggalkannya tanpa kalimat perpisahan.Perpisahan Sunyi, hal.164

  • “Terkadang kita harus meninggalkan sesuatu yang penting demi sesuatu yang jauh lebih penting.”Pergi, hal.172

  • “Aku mau kamu terus sama dia. Cuma dia yang bisa menjamin kebahagiaan kamu, kan?”Pergi, hal.174

  • Sangat menyakitkan jika kamu ingin menolong seseorang, tapi kamu merasa bahwa kamu bukan siapa-siapa, sehingga kamu tak punya hak untuk menolongnya. Sangat menyakitkan jika kamu hanya bisa diam di tempatmu tanpa berusaha untuk menolong orang yang sangat ingin kamu tolong.Pergi, hal.175-176

  • “Kami udah saling tahu keburukan masing-masing, kamu juga udah nyaman banget temenan. Nggak mungkin ada status yang lebih. Nggak mungkin.”Pergi, hal.179

  • Bukankah memendam cinta adalah satu-satunya yang bisa dia lakukan?Pergi, hal.181

  • Cintanya yang terpendam akan terus terkubur.Pergi, hal.181

  • Dan, jatuh cinta kepada sosok yang belum pernah kugenggam jemarinya, yang tak pernah kurasakan hangat sinar matanya, yang pelukannya belum pernah menyentuh tubuhku.Harapan dan Bayangan, hal.184

  • “Aku nggak mau berharap terlalu tinggi, kalau jatuh, pasti sakit banget.”Harapan dan Bayangan, hal.186

  • Tanggapan itu membuatku semakin berharap. Sepertinya, dia juga punya perasaan yang sama denganku, tapi aku masih berusaha diam. Aku masih jatuh cinta diam-diam. Bagiku, tak mungkin seorang cewek mengungkapkan perasaannya lebih dulu. Tak mungkin aku berkata cinta kepadanya lebih dulu. Aku hanya menunggu isyarat darinya, menunggu pertanda suatu saat pasti menjadi nyata.Harapan dan Bayangan, hal.192

  • Aku mulai mencintainya, tapi takut segalanya berubah dengan cepat jika aku menuntut status dan kejelasan. Aku begitu nyaman, bahkan dalam keadaan yang tidak jelas dan tanpa status seperti ini. Aku tak ingin segalanya berubah dengan cepat karena dia sudah menjadi zona nyaman bagiku. Tak ingin kupergi menjauh. Aku hanya ingin dekat, terus dekat, semakin dekat.Harapan dan Bayangan, hal.192

  • Aku dan dia pernah membangun mimpi bersama. Kami akan mewujudkan mimpi itu bersama juga, kan? Iya, seharusnya.Harapan dan Bayangan, hal.196

  • “Orang yang paling sayang sama kamu adalah yang meluk kamu saat nangis begini.”Harapan dan Bayangan, hal.199

  • Pelukan yang dulu pernah kurasakan kukira bisa tergantikan oleh kehadiran sosok kekasihku. Ternyata aku salah besar. Tak ada pelukan senikmat pelukan perempuan itu, perempuan yang tak pernah menjadi kekasihku.Diakhiri Dengan Pelukan, 202

  • “Aku senang nulis tentang kamu karena dalam tulisan, sosok kamu bisa abadi.”Diakhiri Dengan Pelukan, hal.205

  • “Perempuan kadang tak berterus terang tentang apa yang ada dalam hatinya. Aku kira kamu memahami hal itu, ternyata nggak.”Diakhiri Dengan Pelukan, hal.209

  • “Kita terlalu egois untuk menyatakan perasaan, sama-sama bertahan dengan anggapan masing-masing, dan nggak tahu yang sebenarnya terjadi.”Diakhiri Dengan Pelukan, hal.210

  • “Mungkin sudah saatnya aku menyerah. Perasaan kalian terlalu kuat untuk kukalahkan.”Diakhiri Dengan Pelukan, hal.211

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Appeciate with my pleasure.

~ VS

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...